Pengingat yang Hakiki


                   Angin sawah berdesir kencang, kerudungku terasa bergelombang tertepa angin. Berjalan di tanah perantauan tak tau entah kemana langkah kaki kan membawa. Matahari berpijar ditengah petala langit, seumpama lidah api menjilat-jilat seantero bumi. Diujung sana terlihat wanita paruh baya duduk sendiri dengan tongkat disebelahnya. Tatapannya aneh penasaran denganku yang tampak asing dimatanya. Tak ada lagi pilihan selain menghampirinya, memastikan nama KK yang akan ku survei agar daftar panjang ini segera usai. Ku berjalan perlahan sambil menundukan kepalaku, tertunduk malu dan merasa tidak yakin akan mendapatkan jawaban yang kuinginkan. Karena bukan kali pertama aku bertanya pada nenek-nenek yang justru membuatku bingung karena arah yg ditunjuknya berbeda dengan yang dikatakannya.
                Rupanya beliau adalah istri pemilik KK. Dalam keheningan aku beranikan diri untuk bertanya padanya, “Mbah, kula badhe tanglet-tanglet saget mboten”. Beliau spontan menjawab “Wah ra mudeng e mbak.” Kemudian respon pertama yang selalu muncul tanpa pikir panjang “Putrane wonten mboten mbah?”. Kemudian mbah terdiam lama dan aku pun mencoba memecah keheningan bermaksud ingin segera mendapat jawaban atas pertanyaanku sehingga tugas ini bisa segera aku tuntaskan. Ku lirik kembali wajahnya tampak beliau mengusap matanya dengan jari jemarinya. Terdengar sayup-sayup isakan tangis nenek karena teringat akan kepedihan yang dia rasakan. Aku semakin bingung harus berbuat apa, aku hanya terdiam menunggu suasana yang tepat untuk berpamitan. Namun akhirnya beliau bercerita tentang anaknya yang sedang di rumah sakit, menemani cucunya yang akan operasi usus. Sudah hampir sebulan cucunya di rawat dirumah sakit karena penyakitnya itu. Cucunya laki-laki seumuran denganku. Tak lama berselang keluarlah suami sang nenek. Kakek tersebut kemudian menyuruh nenek untuk masuk ke rumah beristirahat. Lalu akhirnya aku melanjutkan tugas surveiku untuk mendata KK yang ada di dusun ini.
                Aku dan kawan-kawan tinggal di rumah Bu Lurah selama perantauan sebulan ini. Sepagi itu ku melihat ibu lurah sudah sibuknya bersiap-siap, tak seperti biasanya. Ada tetangga yang meninggal katanya. Cukup kaget aku dengan berita tersebut. Beliau kemudian mengajak kami untuk melayat. Dalam perjalanan aku merasa ingat betul dengan arah jalan ini, ya rumah nenek yang kemarin sore aku sambangi untuk survei data KK. Sudah banyak tetangga berkumpul disana, ada bendera kuning di depan gang dan juga terdengar lantunan ayat-ayat Al-Qur’an yang membuat hati bergetar. Cucu nenek yang sakit dan akan dioperasi ternyata sudah tiada.
                Hari itu mengingatkanku akan betapa dekatnya kematian. Bukankah mati tak kenal tua dan muda, kaya dan miskin, raja atau rakyat biasa semua mati. Kematian memang menjadi pengingat terbaik agar kita tidak rakus akan dunia. Memikirkan akan kematian memang terasa menakutkan bagiku, namun jika diingat lagi memang begitulah takdir manusia. Kematian justru menjadi saat yang selalu dinantikan oleh mereka yang bertaqwa sebab kematian itulah pintu gerbang pertemuan dengan Sang Pemberi Hidup, Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semoga kita termasuk orang yang senantiasa mengingat serta mempersiapkan bekal terbaik untuk menghadapi hari yang sudah ditetapkan bagi mereka yang lahir di dunia. (Rin)


wahai manusia..
jangan engkau tertipu daya
oleh dunia yang fana
sebagai tempat ujian bagi kita
dunia sementara
akhirat selama-lamanya

orang kaya mati
orang miskin mati
raja-raja mati
rakyat biasa mati

semua pergi menghadap ilahi
dunia yang dicari
tak ada yang berarti
takkan dibawa mati
-Derry Sulaiman-





Comments

Popular posts from this blog

Aroma Hujan Rasa Kenangan

Misteri Mesin Waktu Part 1