Sepenggal Perjalanan Dullah Laut #1


Siang menjelang. Matahari tak terlalu terik, terdengar suara ombak bergulung bergantian, ayunan nyiur kelapa terasa menyejukkan. Percakapan kami sepulang melakukan pelayanan posyandu cukup asik, mulai dari cerita saat masa praktik klinik, nostalgia drama keberangkatan ekspedisi, program-program, dan aroma cinlok dalam tim yang semakin tercium. Sambil berjalan pulang kami tertawa dan bercanda. Lalu ku lihat sesuatu yang membuat aku tertegun, kurasa begitu juga dengan teman-temanku yang lain.

Dari kejauhan nampak segerombalan bocah kampung tanpa alas kaki dan wajah polos mendorong gerobak sambil tersenyum malu ketika melihat kami yang akan berpapasan dengan mereka. kami saling berpandangan seakan memiliki feeling yang serupa, penasaran dengan mereka. Belum sempat kata-kata keluar dari mulutku, temanku yang lebih tua setahun dariku sudah mendahului menghentikan langkah mereka.
“Mau kemana adek-adek?” tanyanya.
“Kita mau ke Duroa desa sebelah, Kak” jawab salah satu dari mereka.
“Mau ngapain ke Duroa ?” sahutku.
“Emmmm” jawaban mereka antara malu-malu dan bingung mau jawab apa.

Mereka semakin dekat, sehingga terlihat isi dalam gerobak itu. Kami pun langsung paham apa yang mereka lakukan.  Nampaknya anak perempuan berbaju pink adalah yang tertua diantara mereka, yang mengerti uang dan jual beli. Selain dari ukuran tubuhnya yang paling besar, anak perempuan berbaju pink juga mengerti untuk menjawab pertanyaan kami. Kalian tau apa yang mereka lakukan ke desa sebelah? Yak betul. Mereka berdagang sayur dan lauk pauk. Tak seberapa sayur yang mereka bawa. Ku amati tak ada raut sedih dan letih. Hanya kepolosan dan senyum malu-malu yang nampak. Sontak otaku menarik memori lama, memori masa kecilku yang tertawa lepas bermain bersama teman-temanku tanpa memikirkan makan apa hari ini karena ibuku sudah meyiapkannya.

Kehadiran mereka seakan menjadi penegur. Malu rasanya. Hidup sudah penuh kenikmatan namun tak hentinya mengeluh padahal belum jua berpeluh. Aku diam berpikir, sejujurnya merasa resah karena tak tentu arah untuk apa ku kuliah. Aku berpikir lagi, sadarkah dengan ilmu yang ku pelajari selama ini harusnya mampu membantu sesama. Mengingatkan kembali tanggung jawab sebenarnya atas kesempatan menuntut ilmu yang Allah berikan yakni untuk diamalkan dan dibagikan.

Aku ini juga generasi bangsa, tapi masih saja aku ingin mengelak. Berpikir untuk diri sendiri tanpa peduli kondisi negeri. Sungguh tak tau malu. Beberapa anak beruntung dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang cukup materi. Sisanya beruntung karena diberi hati dan tulang yang kuat untuk berusaha sendiri, dan kau kita harus ambil peran. Menjadi manusia yang bermanfaat. Sekecil apapun. Mulai sekarang. Dimanapun.

“Khairunnas anfa’uhum linnas”
Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain
(HR. Ahmad dan Thabrani)

Comments

Popular posts from this blog

Aroma Hujan Rasa Kenangan

Misteri Mesin Waktu Part 1